oleh

Kebodohan Lebih Mematikan Daripada Kejahatan, Kasus Human Trafficking Jadi Buktinya

Editor:

OPINI, Jendela Satu— Di tengah gempuran digitalisasi dan derasnya arus informasi, masyarakat Indonesia masih terjebak dalam jebakan klasik yaitu kebodohan.

Ini bukan sekadar ketidaktahuan akademis, tapi ketiadaan literasi kritis, minimnya nalar skeptis, dan lemahnya kemampuan membedakan realitas dari tipu daya.

Tak perlu jauh-jauh mencari contoh, maraknya kasus ‘human trafficking berkedok lowongan kerja ke luar negeri’ adalah bukti nyata bahwa ‘kebodohan hari ini lebih mematikan daripada kejahatan itu sendiri’.

Beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan begitu banyak laporan tentang warga Indonesia terutama perempuan dan remaja yang terjerat jaringan perdagangan manusia.

Mereka dijanjikan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga, terapis, atau pekerja migran dengan gaji besar di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Padahal kenyataannya, mereka dijebak, dieksploitasi, bahkan tak sedikit yang kembali hanya dalam peti jenazah.

Baca Juga:  Petani di Sinjai Meringis, Aktivis Muda Soroti Kinerja Pemda

Namun, akar dari semua ini bukan hanya kejahatan para pelaku. Masalahnya jauh lebih kompleks: minimnya literasi digital, ekonomi, dan hukum dari masyarakat kita sendiri. Banyak korban yang tak pernah memverifikasi info lowongan kerja, tak tahu soal prosedur resmi migrasi tenaga kerja, dan terlalu mudah percaya pada janji manis di media sosial atau pesan berantai WhatsApp.

Seperti yang dikatakan Denny Sumargo dalam salah satu episode podcast-nya “Curhat Bang Denny”, saat berbincang dengan korban kekerasan dan penipuan online, “Kadang bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka nggak pernah diajarin untuk curiga.” Kalimat itu menggugah, karena di situlah letak bahaya kebodohan: ia bukan sekadar tidak tahu, tapi tidak tahu bahwa dirinya sedang dimanipulasi. Dan manipulasi ini yang menjadi senjata utama para pelaku human trafficking.

Baca Juga:  Batalyon C Gandeng Pecinta Bola di Bone Gelar Doa Bersama untuk Korban Tragedi Kanjuruhan

Sayangnya, masyarakat kita cenderung menyalahkan korban. Dicap “bodoh”, “kurang hati-hati”, atau “nggak mau belajar”.

Padahal, sebagian besar dari mereka adalah hasil dari sistem pendidikan yang belum menjangkau literasi praktis dan emosional. Kebodohan struktural ini menjadi ladang subur bagi kejahatan terorganisir.

Ironisnya, pemerintah sudah berulang kali mengeluarkan imbauan dan regulasi terkait migrasi aman, tetapi tetap saja banyak korban berjatuhan. Di sinilah kita harus sadar bahwa kebodohan bukan hanya masalah individu, melainkan masalah kolektif bangsa.

Ini soal bagaimana negara gagal memberdayakan rakyatnya dengan keterampilan hidup, bukan sekadar ijazah.

Baca Juga:  Brimob Lakukan Trauma Healing Pulihkan Psikologi Anak Korban Gempa Selayar

Jika kejahatan adalah racun, maka kebodohan adalah gelas yang menuangkannya ke tenggorokan tanpa disadari.

Kejahatan bisa ditangkal dengan hukum. Tapi kebodohan hanya bisa dilawan dengan pendidikan dan itu proses panjang yang seringkali diabaikan.

Dalam era AI dan deepfake, kita butuh lebih dari sekadar pengetahuan. Kita butuh ‘kecerdasan sosial dan moral’ agar tak mudah terjerat iming-iming kerja palsu, pinjaman online ilegal, atau jebakan investasi bodong. Kebodohan hari ini tak cuma menyebabkan kerugian materi, tapi juga nyawa melayang, masa depan hancur, dan harga diri bangsa runtuh.

Sudah saatnya kita berhenti meremehkan kebodohan. Karena ia tak kalah kejam dibanding kejahatan. Bahkan, dalam banyak kasus, kebodohan adalah pintu masuk utama bagi kejahatan.

Penulis: Titik Puspita SariEditor: Jar

Komentar