oleh

Bangsa yang Membiarkan Anak Dilukai Adalah Bangsa yang Bunuh Diri Secara Perlahan

Editor:

OPINI, Jendela Satu— Indonesia tengah berdarah, bukan karena peluru, bukan oleh perang, tapi oleh luka yang membusuk diam-diam di tubuh bangsa ini, kekerasan seksual terhadap anak sudah dimana-mana.

Luka ini bukan luka baru, tapi luka lama yang terus dibiarkan menganga, hingga akhirnya membuncah lagi lewat panggung yang tak terduga, stand-up comedy.

Ketika materi Eky Priyagung viral, publik dikejutkan oleh tawa yang memudar menjadi sunyi.

Dibalik guyonan itu, terungkap realitas pahit, anak-anak di Indonesia mengalami pelecehan seksual oleh orang-orang terdekat mereka, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Yang membuatnya lebih mengerikan adalah bukan hanya isi cerita itu, tapi reaksi kita, kita menertawakannya.

Kita tertawa atas trauma, kita menjadikan tragedi sebagai hiburan. Di titik inilah, kita harus bercermin, sudah sejauh apa moral bangsa ini runtuh?

Indonesia kini menjadi negeri yang penuh bahaya bagi anak-anaknya. Tidak ada lagi ruang aman. Rumah bisa menjadi lokasi pertama mereka disakiti.

Apakah sekolah bukan lagi tempat belajar yang nyaman, tapi ladang subur bagi predator berseragam. Tempat ibadah pun tidak steril dari ancaman, bahkan hukum sekalipun kerap kali menjadi pelindung pelaku, bukan korban.

Baca Juga:  Tes CAT Calon Panwascam Berlangsung, Ketua Bawaslu Sinjai Tegaskan Tidak Ada Praktek Nepotisme

Dan ini bukan dugaan. Ini kenyataan. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah melihat tokoh-tokoh agama yang dihormati memperkosa anak didiknya. Pejabat publik mencabuli anak-anak dengan dalih “kekuasaan.” Penegak hukum mengancam korban untuk bungkam. Semua ini terjadi, dan lebih parahnya, sudah berlangsung selama puluhan tahun.

Sistem yang kita banggakan selama ini ternyata lebih sibuk menjaga nama baik institusi daripada menyelamatkan generasi.

Apa yang terjadi pada Eky bukan satu kasus. Ia adalah pintu kecil yang membuka lorong gelap panjang penuh jeritan anak-anak yang tak pernah terdengar. Menurut data dari berbagai lembaga perlindungan anak, ribuan kasus kekerasan seksual terjadi setiap tahun, sebagian besar menimpa anak-anak. Namun yang benar-benar sampai ke pengadilan? Hanya sedikit. Yang diviralkan? Lebih sedikit lagi. Dan yang benar-benar diselesaikan dengan keadilan? Hampir tak ada.

Kekerasan seksual terhadap anak adalah epidemi sunyi. Ia merambat lewat diam, tumbuh dalam ketakutan, dan berkembang karena pembiaran. Ia dilanggengkan oleh budaya patriarki, sistem hukum yang lemah, serta masyarakat yang lebih peduli pada wibawa institusi ketimbang keselamatan anak-anak.

Baca Juga:  Kapolres Sinjai Kunjungi Kantor Bawaslu Sinjai, Pastikan Pemilu 2024 Berjalan Sukses

Dampak kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya berhenti pada trauma individu. Ia adalah kerusakan sistemik yang akan menghantui masa depan bangsa. Anak-anak korban kekerasan seksual lebih rentan mengalami gangguan psikologis berat, drop out sekolah, penggunaan narkoba, hingga bunuh diri. Mereka hidup dalam lingkaran gelap yang jarang bisa mereka keluar sendiri. Dan saat negara tidak hadir, siapa yang akan menolong?.

Jika ini terus dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan anak-anak hari ini, tapi juga pemimpin masa depan, pemikir besar, seniman hebat, guru bijak, dan warga negara yang utuh. Yang tersisa hanyalah generasi penuh luka, hidup dalam ketakutan dan kemarahan.

Kekerasan seksual hari ini bukan dilakukan oleh penjahat yang mudah dikenali. Mereka bukan orang asing di gang gelap. Mereka adalah orang-orang terdekat, tokoh publik, pemuka agama, pejabat, bahkan aparat. Mereka menyamar sebagai pelindung, tapi sesungguhnya pemangsa.

Inilah musuh baru kita. Dan mereka tak akan berhenti sampai sistem benar-benar menolak mereka. Kita harus membangun benteng, bukan dengan beton, tapi dengan kesadaran kolektif.

Baca Juga:  Polri Pelihara Hewan Ternak Milik Warga Terdampak Erupsi Semeru

Pendidikan seks berbasis nilai, reformasi hukum yang berpihak pada korban, dan keberanian untuk melawan budaya diam.

Tragedi tidak boleh menjadi konten. Derita anak tidak boleh jadi alat tawar. Kita tidak bisa terus menunggu kasus viral baru untuk peduli. Ini saatnya Indonesia bangkit, bukan dengan reaksi sementara, tapi dengan kebijakan jangka panjang.

Mari ubah sistem pendidikan agar mencetak manusia yang bukan hanya cerdas, tapi juga punya empati dan moral. Mari awasi aparat dan pejabat agar kekuasaan tidak lagi jadi tameng kejahatan. Mari lindungi suara anak-anak, karena seringkali mereka tidak hanya disakiti, tapi juga dibungkam.

Kita hidup di negeri yang luas, tapi jika hati kita sempit, tak ada ruang aman bagi siapa pun. Kita bisa bangga pada pembangunan, infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi, tapi apa artinya semua itu jika anak-anak kita tumbuh dalam rasa takut?.

Hari ini mungkin bukan keluarga kita yang jadi korban. Tapi jika sistem rusak ini tetap kita biarkan, siapa yang bisa jamin esok bukan giliran mereka?.

Komentar