OPINI, Jendela Satu— Tidak ada manusia memilih untuk sendiri, jika kebahagian itu tentang kebersamaan maka sepanjang perjalanan hidup aku masih belum menemukan sejatinya kebahagiaan.
Tentang bagaimana cara untuk memanusiakan manusia. Bahkan ironisnya keinginan berbanding terbalik dengan realita yang kualami, apa ini cobaan atau bahkan inilah takdirku.
Jika benar ini takdir, lalu bagaimana Tuhan bisa membahagiakan umatnya, apakah dengan cara merenungi nasib atau bahkan aku harus mencium kaki sesamaku, ah tentu tidak.
Bertahun aku bertahan demi memperjuangkan kelayakan hidup. Apalah dayaku sebagai insan biasa, yang selalu taat kepadamu, mungkin itu skenario yang tertulis bagiku.
Tapi saya yakin bahwa semua telah diaturnya, kapan ia akan terketuk hatinya lalu kembali. Tapi jika ia kembali aku akan memilih untuk membuka pintu hati, tapi tidak untuk bersama dahulu.
Andai air mata saya jadikan tinta, atau bahkan uang kertas saya olah jadi pena, mungkin tidak cukup untuk menuliskan kisah cinta bersamamu.
Hidup ini terasa hampa tanpamu, tapi aku memilih untuk menerima dan menjalani semestinya. Dibalik dari cobaan ini ada kebahagiaan yang Tuhan rawat untuk hamba yang kian bersamanya.
Sedetik pun kisahmu tak pernah terlupakan di ingatan, tapi itu hanya sekedar di ingatan saja, karna apalah dayaku seorang manusia biasa yang hanya merawat takdirku dengan kesucian air mata.
Gayuh tak bersambut, perasaan pun berlalu begitu saja, seberengsek itu takdirku. Cobaanmu berat terpandang untukku, tapi aku yakin bisa melaluinya.
Masa-masa terburuk dalam hidup ternyata tidaklah begitu buruk, hanya saja kita perlu membangun paradigma mau sendiri atau tetap bersama namun menyakitkan.
Jika kau memilih untuk sendiri, maka bangunlah, pergi jauh dari kota ini sejenak kemudian kembali untuk belajar.
Hari ini, esok bahkan nanti, jika sesuatunya ditakdirkan untukmu maka dia akan akan kembali dengan orang yang sama tapi versi yang berbeda.
Komentar