OPINI, Jendela Satu— Sejarah baru akan muncul di dunia diakibatkan oleh peperangan antar negara.
Seperti yang kita ketahui, konflik antar dunia semakin memananas.
Hal tersebut diakibatkan oleh pertarungan ego dan kekuasaan.
Hal ini sudah terjadi, akibatnya bom berjatuhan di Gaza, rudal bersahutan di Lebanon, dan drone-drone berseliweran di langit Yaman, dunia sebenarnya sedang membara.
Timur Tengah bukan sekadar arena konflik regional; ia adalah titiknyala global yang bisa menjalar kemana saja dan kapan saja.
Tapi di sini, di Nusantara yang tenang, kita masih larut dalam drama politik lokal, sengketa kursi kekuasaan, polemik bansos, dan proyek-proyek mercusuar yang menelan triliunan rupiah tanpa arah pembangunan yang jelas.
Sementara itu, api perang di luar sana tak pernah benar-benar padam, hanya berganti nama dan lokasi kelokasi lain.
Dunia kini berdiri diujung tanduk. Luka Perang Rusia-Ukraina bahkan belum sempat padam, kini kawasan Timur Tengah kembali memanas. Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran bukan lagi sekadar bisik-bisik diplomasi dingin, ia sudah menjelma menjadi percikan nyala api yang nyata. Serangan drone, misil balistik, dan benturan kekuatan milisi telah membuat kawasan itu bergolak. Pentagon pun telah mengakui keterlibatan langsung dalam operasi militer terhadap basis militan yang dianggap berafiliasi dengan Iran.
Tak butuh waktu lama bagi Iran untuk membalas dan dunia pun kembali menahan napas.
Banyak yang percaya, ini bukan lagi perang proksi. Ini adalah awal dari konfrontasi terbuka yang hanya menunggu satu pelatuk untuk memicu kobaran lebih besar.
Namun, jauh dari jantung konflik itu, Indonesia masih sibuk merayakan pesta demokrasi yang lebih sering terasa seperti sirkus elit, bukan momentum penyadaran kolektif. Di tengah dunia yang siap terbakar, kita seolah menari di tepian jurang, hanya fokus pada euforia sesaat dan kepentingan politik jangka pendek. Padahal, sejarah telah berkali-kali memperingatkan kita: damai bukan berarti aman, dan netral bukan berarti kebal.
Perang Dunia II memberi pelajaran yang pahit dan jelas. Amerika Serikat pernah memilih untuk netral. Mereka berpikir, jika tak ikut perang, maka tak akan terkena imbasnya. Tapi kenyataan membantah asumsi itu.
Pada 7 Desember 1941, pagi yang tampak biasa berubah menjadi bencana ketika Jepang meluncurkan serangan mendadak ke Pearl Harbor. Ribuan nyawa hilang, dan Amerika pun tak punya pilihan selain turun ke medan perang. Netralitas tak menyelamatkan mereka. Sejarah tidak pernah memberikan aba-aba, ia menyergap tanpa isyarat.
Kini, kita menyaksikan skenario yang nyaris serupa. Iran bukan negara kecil tanpa daya, ia memiliki jaringan milisi regional yang luas, teknologi militer yang mumpuni, dan pengaruh ideologis yang kuat. Di sisi lain, Amerika Serikat tetap menjadi kekuatan militer global dengan prinsip “jika perlu, serang duluan.”
Bila kedua kekuatan ini benar-benar meledak dalam konflik terbuka, dampaknya tak akan terbatas pada Teluk Persia. Krisis energi, pergeseran geopolitik, hingga ancaman terhadap stabilitas global akan jadi konsekuensi nyata. Dan, seperti badai yang menyebar lewat angin, negara-negara yang dianggap netral pun tak akan luput dari dampaknya, termasuk Indonesia.
Lalu, siapkah kita?
Kenyataannya, kita belum. Pertahanan nasional kita masih lemah secara infrastruktur maupun mentalitas. Kebijakan luar negeri kita memang menjunjung tinggi perdamaian, tetapi nyaris tanpa peta jalan strategis jika terjadi konflik global.
Kita tak memiliki aliansi yang solid atau kekuatan cadangan nasional yang bisa diandalkan dalam skenario darurat. Lebih ironis, sebagian besar rakyat lebih panik menghadapi berita palsu di TikTok ketimbang memahami risiko nyata dari ketegangan global yang bisa berdampak langsung pada keamanan nasional.
Di era modern, perang tidak selalu datang dalam bentuk serangan fisik. Ia bisa hadir sebagai sabotase digital, gangguan ekonomi, bahkan infiltrasi ideologi.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan posisi geografis strategis, jalur utama pelayaran internasional, dan sumber daya yang melimpah. Itu bukan sekadar kebanggaan, tapi juga kerentanan. Dunia sedang berebut energi, pangan, dan pengaruh. Dalam kondisi seperti ini, bangsa yang tampak “netral” justru bisa menjadi sasaran lunak jika tidak mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh.
Lebih menyedihkan, wacana geopolitik semacam ini hampir tak terdengar dalam ruang publik. Konflik internasional dianggap terlalu jauh, terlalu rumit, dan tidak menyentuh langsung kehidupan sehari-hari. Padahal, jika kita menengok sejarah, semua konflik besar dimulai dari kelengahan-kelengahan kecil: rasa aman yang berlebihan, kepercayaan buta pada perdamaian, dan keyakinan naif bahwa kita “terlalu jauh untuk terkena dampaknya.”
Sejarah selalu mencatat dan tak pernah netral. Ia mengabadikan siapa yang berjaga dan siapa yang tertidur. Ia menulis kisah kejayaan bangsa yang waspada, dan keruntuhan mereka yang menolak membaca tanda-tanda zaman.
Ketika dunia mulai membara, bangsa yang tak siap akan terbakar lebih dulu, meski belum sempat mengangkat senjata.
Maka, di tengah memanasnya konflik antara Amerika Serikat dan Iran, dan nyala perang yang tak lagi bisa dianggap angin lalu, Indonesia harus bangun. Bukan hanya memperkuat militer, tapi juga membangun kesadaran nasional. Kita perlu diplomasi yang visioner, pertahanan siber yang tangguh, ketahanan pangan dan energi yang mandiri, serta pendidikan politik yang membangkitkan kesadaran strategis rakyatnya.
Karena sejarah tak pernah menunggu kesiapan kita. Ia akan datang, mencatat, dan menilai. Dan mereka yang terlalu lama percaya bahwa damai akan datang dengan sendirinya, akan menjadi halaman terakhir dalam buku sejarah bangsa mereka sendiri.
Komentar